Fikih Akad Jualah (Sayembara)
Sayembara secara bahasa Indonesia dikenal dengan perlombaan (karang-mengarang dan sebagainya) untuk memperebutkan hadiah. Disebutkan dalam KBBI “Menyayembarakan” artinya memperlombakan [1]. Hal ini seringkali terjadi di masyarakat Indonesia, tak terlepas dari kaum muslimin. Tentunya hukum-hukum yang berkaitan dengan akad ini mesti diketahui.
Definisi akad ju’alah
Sayembara dikenal dalam bahasa Arab dengan istilah ju’alah. Secara bahasa Arab, ju’alah didefinisikan dengan “sesuatu yang diberikan kepada seseorang atas perintah yang dikerjakan olehnya.”
Adapun secara istilah syar’i, ju’alah didefinisikan dengan “seseorang yang sudah layak bertransaksi memberikan hartanya bagi orang lain yang melakukan pekerjaan untuknya, baik pekerjaan tersebut tidak jelas atau pekerjaan yang sudah jelas.” [2]
Gambaran sederhananya, seseorang berkata, “Siapa yang membersihkan masjid ini, ia akan mendapatkan seratus.” Atau, “Siapa yang menemukan barang saya yang hilang, saya akan berikan ia uang dua ratus ribu.” Demikianlah yang dinamakan dengan ju’alah atau biasa dinamakan di tengah masyarakat dengan sayembara.
Dalil akad ju’alah (sayembara)
Allah Ta’ala berfirman,
وَلِمَنْ جَآءَ بِهٖ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَّاَنَاۡ بِهٖ زَعِيْمٌ
“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu.” (QS. Yusuf: 72)
Dalil dari As-Sunnah adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَرِيَّةٍ، فَنَزَلْنَا بِقَوْمٍ، فَسَأَلْنَاهُمُ الْقِرَى، فَلَمْ يَقْرُونَا، فَلُدِغَ سَيِّدُهُمْ، فَأَتَوْنَا، فَقَالُوا : هَلْ فِيكُمْ مَنْ يَرْقِي مِنَ الْعَقْرَبِ ؟ قُلْتُ : نَعَمْ. أَنَا، وَلَكِنْ لَا أَرْقِيهِ حَتَّى تُعْطُونَا غَنَمًا، قَالُوا : فَإِنَّا نُعْطِيكُمْ ثَلَاثِينَ شَاةً، فَقَبِلْنَا، فَقَرَأْتُ عَلَيْهِ : الْحَمْدُ لِلَّهِ سَبْعَ مَرَّاتٍ ؛ فَبَرَأَ، وَقَبَضْنَا الْغَنَمَ، قَالَ : فَعَرَضَ فِي أَنْفُسِنَا مِنْهَا شَيْءٌ، فَقُلْنَا : لَا تَعْجَلُوا حَتَّى تَأْتُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ : فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَيْهِ ذَكَرْتُ لَهُ الَّذِي صَنَعْتُ، قَالَ : ” وَمَا عَلِمْتَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ؟ اقْبِضُوا الْغَنَمَ، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
“Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus kami pada suatu peperangan. Kami pun sampai pada wilayah suatu kaum. Kami meminta kepada mereka untuk menjamu kami, namun mereka tidak ingin untuk menjamu kami. Lalu, pemimpin kaum mereka disengat (kalajengking). Mereka (kaum itu) berkata, adakah di antara kalian yang bisa meruqyah dari sengatan kalajengking? Aku (Abu Sa’id) berkata, Iya. Saya bisa, namun saya tidak ingin meruqyah sampai kalian memberikan kepada kami seekor kambing. Mereka berkata, baik kalau begitu kami akan berikan kepada kalian tiga puluh ekor kambing. (Abu Sa’id), kami pun menerimanya.
Kemudian aku bacakan kepada yang disengat itu Alhamdulillah (surah Al-Fatihah) sebanyak tujuh kali. Ia pun sembuh, dan kami terima kambing pemberian mereka. (Setelah kami menerima-pent), timbullah pada diri-diri kami keraguan. Kami pun berkata, ‘Jangan kalian terburu-buru dalam menerimanya, sampai kalian datang dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Abu Sa’id berkata, tatkala aku datang kepada Rasulullah, aku pun bercerita tetang apa yang aku alami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidakkah engkau tau bahwa Al-Fatihah adalah ayat ruqyah? Terimalah oleh kalian kambingnya, dan berikan satu jatah untukku.’ ” (HR. At-Tirmidzi no. 2063, At-Tirmidzi berkata, “Hadis hasan sahih.”)
Sisi pendalilan dari hadis di atas, para sahabat mensyaratkan bacaan Al-Qur’an sebagai sayembara dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyetujui hal tersebut. Bahkan, sampai beliau bersabda, “dan berikan satu jatah untukku.” [3]
Hukum akad ju’alah (sayembara)
Hukum dari ju’alah adalah mubah. Karena hukum asal dari muamalah adalah halal dan mubah. Terlebih jika ada dalil yang menganjurkan hal tersebut. Telah disebutkan dalil di atas sebagai bolehnya ju’alah.
Syarat sah akad ju’alah
Pertama, hendaknya orang yang mengadakan sayembara adalah orang yang masuk dalam kategori layak bertransaksi. Tidaklah dikatakan layak bertransaksi, kecuali terkumpul padanya beberapa hal. Yaitu, baligh, merdeka, berakal, dan rusyd (pandai atau bijak dalam bertransaksi). Berdasarkan persyaratan ini, tentunya ju’alah tidak boleh diadakan oleh anak kecil, budak, orang gila, dan orang yang tidak pandai dalam bertransaksi.
Kedua, hendaknya ju’alah yang diselenggarakan pada koridor perkara yang mubah, tidak pada perkara-perkara yang haram.
Contoh di antara perkara yang haram, seseorang mengadakan sayembara, “Barangsiapa yang bisa mencarikan saya khamr yang bermerk ini dan itu, maka saya akan berikan kepadanya satu juta rupiah.”
Maka, hal ini tidak diperbolehkan, baik bagi yang menyelenggarakan dan yang ikut serta dalam hal tersebut. Karena ini sama saja dengan tolong menolong dalam keburukan dan dosa.
Ketiga, hendaknya pekerjaan yang disayembarakan adalah pekerjaan yang dapat menghasilkan upah. Pekerjaan yang dibutuhkan tenaga dan fikiran.
Keempat, hendaknya upah atau ganjaran yang diberikan adalah hal yang jelas, bukan yang masih ganjaran atau upah yang sifatnya samar-samar. Jelas secara nilai dan kadarnya. Karena jika masih samar-samar dan tidak jelas dalam upah atau ganjaran, tidak termasuk dari ju’alah.
Perbedaan antara akad ijarah (sewa-menyewa) dengan akad ju’alah (sayembara)
Pertama: Akad ijarah termasuk di antara akad yang mengikat. Tidak berhak bagi kedua belah pihak untuk membatalkan akad tersebut secara sepihak, kecuali dengan keridaan dari salah satu pihak. Adapun akad ju’alah adalah akad yang tidak mengikat, bagi kedua belah pihak bebas untuk membatalkannya.
Kedua: Pada akad ijarah bisa dilakukan khiyar majlis (hak bagi kedua belah pihak untuk melanjutkan transaksi atau membatalkannya selama masih berada di satu majelis). Mengingat ijarah termasuk dari jual beli manfaat. Adapun ju’alah tidak terdapat padanya khiyar majlis, karena tidak ada keperluan untuk melakukan khiyar majlis pada akad ju’alah.
Ketiga: Pada akad ijarah disyaratkan jenis pekerjaannya adalah pekerjaan yang jelas. Adapun ju’alah pekerjaannya tidak harus pekerjaan yang telah diketahui secara jelas, artinya boleh pekerjaan yang sifatnya majhul (tidak diketahui jenisnya).
Keempat: Pada akad ju’alah diperbolehkan pada hal yang sifatnya ibadah. Adapun ijarah, maka terdapat perselisihan di antara para ulama.
Kelima: Pada akad ijarah diharuskan orang yang bekerja adalah orang yang telah diketahui. Adapun ju’alah boleh dari orang yang tidak diketahui sebelumnya. Artinya, siapa saja boleh ikut serta dalam ju’alah tersebut.
Demikianlah hal yang berkaitan dengan ju’alah atau sayembara. Ringkasnya, hal ini diperbolehkan dalam syariat, tentunya dalam koridor yang mubah atau hal yang dihalalkan. Adapun perkara yang haram, maka ju’alah yang diselenggarakan pada hal tersebut juga terlarang hukumnya.
Semoga bermanfaat. Wallahul Muwaffiq.
***
Depok, 19 Safar 1446H / 23 Agustus 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel asli: https://muslim.or.id/97420-fikih-akad-jualah-sayembara.html